Senin, 31 Januari 2011

DZIKIR JAHAR SETELAH SHOLAT FARDHU ADALAH SUNNAH

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah dengan segala limpahan nikmat-nikmat-Nya yang zhahir maupun yang batin. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Berdzikir sesudah shalat merupakan sunnah yang sudah diamalkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Hendaknya kita mengikuti beliau dalam amal ini dan mencontoh bagaimana beliau melaksanakannya.
Sebagian saudara kita (kaum muslimin) ada yang memandang bahwa dzikir sesudah shalat harus lirih, tidak boleh mengeraskannya karena bisa mengganggu orang di sekitarnya yang juga berdzikir atau mengganggu mereka yang sedang menyelesaikan shalatnya. Sehingga ketika ada ikhwan yang mengeraskan suara dzikir diingkari dan dianggap bid’ah. Bagaimana tatacara dzikir sesudah shalat yang sesuai sunnah? Apakah disunnahkan mengeraskannya atau melirihkannya? 
Dzikir setelah shalat merupakan ibadah yang sangat disunnahkan dan salah satu kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau juga melakukannya dengan suara keras. Dalam sahih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.
Masih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
 كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ
Aku megetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir.” (HR. al-Bukhari)
Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengingkari dan melarangnya.
Ibnu Huzaiman memasukkan hadits di atas daam kitab Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi al-Takbiir wa al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah (Bab: meninggikan (mengeraskan) suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat (wajib).. hal ini menunjukkan bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir sesudah shalat.
Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir." (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan di antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm al-Zahiri.
Sedangkan Imam al-Syafi’i rahimahullaah, memaknai hadits di atas dengan mengatakan, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengeraskan (dzikir sesudah shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat dzikir, bukan mengeraskan terus menerus. Imam Syafi’i berpendapat agar imam dan makmum melirihkan dzikir kepada Allah Ta’ala sesudah shalat, kecuali kalau imam ingin agar makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya sehingga ia melihat makmum telah belajar darinya, lalu melirihkannya.  Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan ini. (Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi).
Berikut ini kami sertakan fatwa-fatwa para ulama tentang dzikir sesudah shalat:
1. Fatwa Syaikh Utsaimin rahimahullaah
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan bagaimana cara pelaksanaannya?
Beliau menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan dzikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau radhiyallahu 'anhu berkata,
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Dan aku tahu apabila mereka telah selesai dari shalat dengan itu, (yaitu) apabila aku mendengarnya.” (Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits dalam al-‘Umdah).
Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:
لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Al-hadits. Dia tidak akan mendengar dzikir ini kecuali jika orang yang berdzikir mengeraskannya.
Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu 'anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas. Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya. Bahkan di dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir. Dengan ini terbantahkan pendapat orang bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.
Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu 'anhum.
Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.
Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disebut bid’ah?!
Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullaah berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dari perbuatan dan taqrirnya. Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka. Beliau menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran Rasul shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka. Mereka melaksanakan dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya, beliau tidak mencela mereka.”
Adapun alasan mengingkari dzikir jahar dengan firman Allah Ta’ala,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,” (QS. Al-A’raf: 205). Maka kami jawab: Sesungguhnya Dzat yang memerintahkan menyebut nama Rabbnya (dzikir) dalam hati dengan merendahkan diri dan rasa takut adalah yang memerinthakan untuk menjaharkan dzikir sesudah shalat wajib. Apakah orang yang tersebut lebih mengetahui maksud Allah Ta’ala daripada Rasul-Nya? Atau ia meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui maksud Allah tapi beliau menyelisihinya. Kemudian ayat yang menyebutkan dzikir pada pagi hari dan sore hari bukan dzikir sesudah shalat lima waktu. Imam Ibnu katsir rahimahullaah dalam tafsirnya memahami makna jahar (keras) di sini dengan terlalu keras (berteriak-teriak).
Adapun yang mengingkari dzikir jahar ini dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Wahai manusia kasihanilah diri kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadits)”. Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempat sendiri, sedangkan yang itu juga ada tempatnya sendiri. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan menempatkan semua nash yang ada pada tempatnya masing-masing.
Kemudian ungkapan dalam sabdanya, “Kasihanilah diri kalian,” menunjukkan bahwa para sahabat terlalu meninggikan suaranya sehingga menyukitkan dan memberatkan mereka. Karena sebab inilah beliau bersabda, “Kasihanilah diri kalian.” Maksudnya, berlemahlembutlah terhadap diri kalian dan jangan terlalu membebani diri kalian. Sedangkan menjaharkan dzikir sesudah shalat bukan termasuk kesulitan dan membebani.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka seorang mukmin jika sudah ada kejelasan bahwa hal itu merupakan sunnah, maka hal  (gangguan) itu akan hilang (dengan sendirinya). Jika maksudmu akan mengganggu jamaah lain yang masih shalat, maka jika jamaah tidak ada yang masbuq (terlambat) maka mengeraskan suara tersebut tidak akan mengganggu mereka sebagaimana fakta lapangan, karena mereka sama-sama mengeraskan dzikirnya. Jika ada yang masbuq dan sedang menyelasikan shalatnya, jika ia dekat denganmu sehingga bisa mengganggunya, maka jangan keraskan suara dzikir dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka ia tak akan terganggu oleh suara keras dzikirmu yang keras.
Berdasarkan keterangan yang kami sebutkan, menjadi jelas bahwa mengeraskan dzikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih  maupun dengan penalaran yang jelas. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar menganugerahkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih kepada kita semua. sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. (Fatawa wa Rasail Ibni Utaimin, jilid 13)
Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disebut bid’ah?! (Syaikh Utsaimin)
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Al-‘Allamah Ibnu Bazz pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan dzikir atau melirihkannya?
Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarnya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)
Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku mendengar (suara dzikir) itu.”
Hadits shahih ini dan hadits-hadits semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhuma dan lainnya, semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal itu. Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya: 1. Menampakkan pujian kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini. 2. Dan (Sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq.
Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. (Syaikh Ibnu Bazz)
Syaikh Shalih al-Fauzan
Beliau ditanya tentang menjaharkan doa dan dzikir secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan keras, lirih, atau di antara keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55) Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui yang lirih dan tersembunyi. Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih, kecuali apabila menjaharkannya bisa mengganggu orang disekitarmu; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus melirihkan suaramu. Atau apabila kamu takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas.
Perlu diperhatikan, bahwa mengeraskan di sini bukan dengan suara bersama-sama (koor), sebagaimana yang dilakukan sebagian orang. Setiap orang berdoa untuk dirinya dengan lirih dan keras. Adapun berdoa dengan berjama’ah (bersama-sama), maka termasuk bid’ah.
Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa para sahabat menjaharkan dzikir sesudah shalat; tahlil dan ihtighfar sesudah salam sebanyak tiga kali, lalu membaca:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
sampai akhir dari dzikir-dzikir yang dicontohkan, maka membacanya dengan keras. Tapi dengan sendiri-sendiri, bukan dengan berjamaah (bersama-sama) sebagaimana yang kami sebutkan di awal. Dzikir berjama’ah ini termasuk perkara bid’ah (yang diada-adakan). Setiap orang berdzikir sendiri-sendiri dan mengeraskannya sesudah shalat.” (al-Muntaqa’ min Fatawa al-Fauzan: Juz 3).
Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih . . . (Syaikh  Shalih Fauzan)
Fatwa Lajnah Daimah
Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.
(Mengeraskan dzikir setelah shalat wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan shalatnya, baik mereka itu (menyelesaikan shalatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan berjama’ah. Dan hal itu (yakni mengeraskan dzikir) disyariatkan pada semua shalat wajib yang lima waktu.
Adapun mengeraskan doa dan membaca Al-Qur’an secara jama’i (bersama-sama),  maka hal ini tidak pernah ada tuntunannya dari Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, maupun dari para sahabat beliau. (Oleh karena itu), perbuatan itu termasuk bid’ah.
Adapun jika ia berdoa untuk dirinya sendiri, atau membaca Quran sendiri dengan suara tinggi, maka hal itu tidak mengapa, asal tidak mengganggu orang lain.”
Penutup
Dari hadits dan penjelasan ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat wajib adalah sunnah. Ini merupakan petunjuk yang dzahir dan sharih dari teks hadits dalam Shahihain. Walaupun ada pendapat sebagian ulama –seperti imam Syafi’i, Imam Nawawi dan Syaikh Al-Albani- yang melarang menjaharkannya dan membawa makna hadits di atas sebagai pengajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada para sahabatnya, jadi dilaksanakan hanya temporar dan tidak terus menerus. Jika tidak ada tujuan seperti itu maka dianjurkan untuk melirihkannya.
Pendapat yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir sesudah shalat sesuai dengan dzahir hadits. Maka, sebagaimana kaidah Ushul Fiqih bahwa makna dzahir harus lebih didahulukan dan diamalkan sehingga ada dalil kuat lainnya yang me-nasakh-nya, atau men-takhshish-nya atau men-takwil-nya. Dan tidak didapatkan adanya dalil kuat yang menerangkan, bahwa dikeraskannya dzikir setelah shalat wajib itu hanya untuk sementara waktu saja. Wallahu Ta’ala a’lam.
Oleh: Badrul Tamam

Selasa, 18 Januari 2011

HANYA MENGUCAPKAN LAAILAAHA ILLALLAH BISAKAH MANUSIA MASUK SYURGA ?

Banyak dalil syar’i dari dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan bahwa siapa yang bertauhid dan meninggal di atasnya pasti masuk surga. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَمَنْ قَالَهَا فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ
 “Aku diperitahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa Ilaaha Ilallah, maka apabila mereka telah mengucapkannya, darah dan harta mereka diharamkan atasku kecuali dengan hak-nya.” (HR. al-Bukhari)
Hadits Ubadah bin Tsamit radhiyallahu 'anhu:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ
Barangsiapa yang mengatakan, ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang hak kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwa Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba wanita-Nya, (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya, bahwasanya jannah (surga) adalah hak dan neraka juga hak (benar adanya),’ pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga seberapapun amalnya.” (HR. Al-Bukhari)
Masih banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah dengan jujur dan bertauhid, ucapannya mengandung sikap bara’nya (berlepas diri) dari syirik dan beriman bahwa Allah semata yang berhak diibadahi, maka dia akan masuk surga. Dia termasuk orang Islam. Bersamaan itu ia juga beriman bahwa Muhammad adalah Rasulullah dengan membenarkan segala yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan pada waktu itu. Kemudian dia dituntut melaksanakan syariat Islam, maka apabila telah datang waktu shalat, wajib ia melaksanakannya. Seperti itu juga zakat, puasa, dan haji. Jika ia meninggal setelah bertauhid, pasti masuk surga. Kalau dia masuk Islam lalu meninggal dunia setelahnya, pasti masuk surga, karena dia tidak sempat melakukan amal kebaikan dan tidak pula pernah melakukan keburukan sedikitpun. Dan Islam memutus/menghapus perbuatan-perbuatan sebelumnya, sedangkan taubat menghapuskan kesalahan-kesalahan yang lalu. Jika ia sempat hidup hingga mendapatkan shalat, maka wajib baginya shalat. Jika ia menolak dan menentangnya maka kafirlah ia, dan jika meninggalkannya maka ia telah kafir. Seperti itu pula apabila dia mendapatkan perintah zakat, ia wajib menunaikan zakat. Jika ia menolak membayar zakat maka ia telah bermaksiat dan berhak masuk neraka. Begitu juga kalau ia mendapati perintah puasa, jika ia tidak berpuasa maka ia telah bermaksiat dan harus masuk neraka, kecuali kalau Allah memaafkan dirinya. Begitu juga ketika dia berzina, mencuri atau semisalnya, maka ia telah bermaksiat yang harus masuk neraka kecuali kalau Allah memaafkan dirinya, ia berada di bawah Masyi’ah (kehendak) Allah.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Nisa’: 48)
Maksudnya kapan saja dia masuk Islam dan mentauhidkan Allah, belepas dari kesyirikan dan beriman kepada semua kabar dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia menjadi muslim. Kemudian dia dituntut melaksanakan hak-hak Islam berupa shalat, dan selainnya serta meninggalkan maksiat. Jika ia meninggalkan maksiat dan melaksanakan tuntutan Islam, maka sempurna Islam dan Imannya. Jika ia meninggal saat itu juga belum sempat beramal, maka baginya surga, karena Islamnya menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya. Jika ia masih hidup dan melaksanakan beberapa kemaksiatan atau meninggalkan sebagian amal wajib, maka ia berada di bawah masyi’ah (kehendak) Allah, jika Allah berkehendak maka akan mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga dengan tauhidnya. Dan jika berkehendak, Allah akan menyiksanya sebanding dengan maksiatnya yang ia  bawa mati sebagaimana firman Allah Ta’ala yang lalu,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Nisa’: 48)
kapan saja dia masuk Islam dan mentauhidkan Allah, belepas dari kesyirikan dan beriman kepada semua kabar dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia menjadi muslim.
Jika ia meninggal saat itu juga belum sempat beramal, maka baginya surga, karena Islamnya menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya.
Ini merupakan ijma’ (consensus) kaum muslimin dan sesuai dengan ijma Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Orang yang bermaksiat berada di bawah masyi’ah (kehendak) Allah, tidak dikafirkan sebagaimana keyakinan khawarij. Dia tidak kekal dalam neraka sebagaimana yang diucapkan kaum Khawarij dan Mu’tazilah. Tidak, tapi ia berada di bawah masyi’ah Allah. Apabila ia meninggal di atas zina, pencurian, durhaka kepada orang tua, menenggak minuman keras, memakan harta riba tapi tidak sampai menganggapnya halal dan tetap menilainya sebagai kemaksiatan, tanpa menghalalkannya tapi dia dikalahkan oleh hawa nafsu dan syetan dan dia tahu betul itu adalah maksiat, maka ia ia berada di bawah masy’iah Allah. Jika Dia berkehendak maka akan memaafkan mereka, dan jika berkehendak maka Allah akan menyiksanya di neraka sesuai kadar kemaksiatan yang ia bawa mati. Sesudah disucikan dan dibersihkan maka Allah akan mengeluarkannya dari neraka sebagaimana ijma’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan kekal di neraka kecuali orang-orang kafir. Ini berbeda dengan paham Khawarij dan Mu’tazilah yang mereka berkata, “Sesungguhnya seorang yang bermaksiat apabila mati di atas kemaksiatannya ia akan kekal di neraka.” Kelompok Khawarij mengatakan, “Ia kafir”. Perkataan mereka ini batil menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pendapat tersebut sangat batil dan telah dibantah oleh satu ayat yang mulia, yaitu firman Allah Ta’ala:
ِإِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Nisa’: 48)
Sedangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang orang yang berzina “Seorang pezina tidak akan jadi berzina ketika ingin berzina kalau dia masih seorang mukmin. Dan tidak akan jadi meminum minuman keras ketika akan meminumnya kalau dia masih seorang mukmin. Dan tidak akan jadi mencuri (seorang puncuri) ketika akan mencuri sementara dia masih seorang mukmin.” Maksudnya adalah anacaman dan peringatan keras. Yakni bukan seorang mukmin yang sempurna imannya. Ada cacat dalam imannya yang maknanya bukan seorang kafir. Karena ayat-ayat saling membenarkan satu dengan lainnya begitu juga hadits, saling membenarkan satu dengan lainnya. Kitab Allah, sebagiannya tidak akan menduskan sebagian yang lain. Sunnah juga tidak akan menyalahi Al-Qur’an. Dan wajib menafsirkan nash dengan nash lainnya.
Sabda Nabi “Seorang pezina tidak jadi berzina ketika akan berzina kalau dia seorang mukmin,” yakni iman yang wajib dan sempurna. Kalau dia memiliki iman yang sempurna, pasti tidak akan berzina. Tai imannya lemah dan ada cacatnya, karenanya ia terjerumus melakukan zina dan minum minuman keras karena lemahnya iman yang ia miliki. Maknanya bukan ia seorang kafir, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan ditegakkan had (hukuman) atas pezina, dan had merupakan kafarah (penghapus dosa) baginya. Dan jika seorang pezina meninggal dunia setelah ditegakkan had atasnya, maka ia masuk surga dan had tersebut menjadi penebus untuknya. Karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam Shahihain sesudah beliau menyebutkan tentang dosa-dosa maksiat, beliau bersabda:
Siapa yang didapati oleh Allah di dunia –maksudnya ditegakkan had syar’i- maka itu menjadi kafarah (penghaphus) baginya. Dan siapa yang Allah tangguhkan sampai akhirat maka urusannya diserahkan kepada Allah.” Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Dan akan mengampuni dosa selainnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Nisa’: 48)
Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkata: Bahwasanya para pelaku maksiat berada di bawah masyi’ah (kehendak Allah). Jika maksiat bukan syirik dan ia tidak menghalalkannya, maka ia berada di bawah masyi’ah Allah sebagaimana pezina, peminum khamer, pemakan riba, anak durhaka kepada orang tuanya, dan semisalnya. Adapun orang yang menghalalkan maksiat, menghalalkan zina dan berkata bahwa zina halal, maka ditegakkan hujjah padanya. Jika dalil sudah jelas padanya lalu ia tetap ngotot bahwa zina halal maka ia kafir dan termasuk pelaku kufur akbar yang mengeluarkannya dari Islam. Begitu juga orang yang mengatakan: Bahwasanya khamer halal, lalu ditegakkan dalil kepadanya. Jika ia tetap ngotot dengan perkataannya maka ia menjadi kafir. Seperti itu juga orang yang mengatakan mencuri adalah halal atau riba halal, maka ditegakkan dalil padanya. Jika tetap ngotot dengan keyakinanya bahwa riba halal, ia telah kafir. Begitu juga orang yang berkata tentang durhaka kepada orang tua adalah halal, maka dijelaskan persoalan itu padanya. Jika ia tetap ngotot sesudah dijelaskan dalil-dalilnya, maka ia kafir. Seperti itu pula kondisi orang yang berkata bahwa liwath (homoseksual/hubungan sejenis) adalah halal.  
Seperti itulah keadaan orang yang menghalalkan maksiat yang sudah sudah jelas dalam dien. Jika ia menghalalkannya dan sudah ditegakkan hujjah (argumentasi) dan dalil baginya, lalu ia tetap pada pendapatnya maka ia kafir. Sedangkan orang yang meninggal dengan membawa kemaksiatan dan ia tahu itu adalah maksiat, ia tidak menganggapnya halal, ia sadar telah berbuat maksiat, ia mati dalam keadaan berzina, mati dalam keadaan mabuk, mati dalam keadaan memakan riba, namun ia menyadari bahwa ia berbuat maksiat maka ia berada di bawah masyi’ah Allah. Jika Allah berkehendak, maka akan mengampuni dosanya melalui amal-amal shalihnya dan tauhidnya. Dan jika Dia berkehendak lain, maka akan menyiksanya sekadar dengan kejahatan yang ia bawa mati. Kemudian sesudah suci dan bersih di neraka, Allah mengeluarkan mereka dan memasukkannya ke surga. Banyak sekali hadits Rasul shallallahu 'alaihi wasallam yang menunjukkan banyak pelaku maksiat yang masuk neraka dan disiksa di dalamnya, lalu Allah mengeluarkan mereka dari neraka dalam keadaan gosong terbakar lalu dicelupkan dalam sungi kehidupan, setelah itu ia tumbuh sebagaimana tumbuhnya biji kecambah. Jika sudah sempurna tubuh mereka, maka Alla memasukkannya ke dalam surga.
Orang yang menghalalkan maksiat yang sudah sudah jelas dalam dien. Jika ia menghalalkannya dan sudah ditegakkan hujjah (argumentasi) dan dalil baginya, lalu ia tetap pada pendapatnya maka ia kafir.
Banyak sekali hadits Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah bahwa tidak akan kekal dalam neraka kecuali orang-orang kafir, --kita memohon keselamatan kepada Allah darinya--. Sementara ahli maksiat, tidak. Terkadang dia tinggal di neraka dalam waktu cukup lama, dan terkadang dinamakan kekal tapi kekal yang terbatas dan akan selesai. Jika selesai jatah waktu yang sudah Allah tertapkan baginya usai maka Allah mengeluarkannya dari neraka, lalu di bawa ke surga karena tauhid dan Islamnya.
Syarat Kalimat Tauhid
Tauhid memilihi beberapa syarat yang telah disebutkan sebagian ulama yang berjumlah tujuh, sebagian lainnya menyebutkannya delapan. Yaitu: Ilmu, yakin, ikhlas, jujur, cinta, inqiyad (tunduk), qabul (menerima), dan ditambah yang delapan kufur terhadap tuhan selain Allah. Apabila seorang penuntut ilmu memahami, meyakini, dan melaksanakannya maka ini adalah kesempurnaan tauhid dan iman. Jika ia seorang awam yang tidak mengetahui syarat-syarat ini tapi ia berlepas diri dari kesyirikan dan beriman keapda Allah, mentauhidkan-Nya maka sudah cukup walaupun ia tidak tahu syarat-syarat  tersebut. Kapan ia berlepas diri dari syirik dan kekufuran, dan meyakini kebatilannya serta beriman kepada Allah semata, maka ia sudah cukup.
Banyak sekali hadits Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah bahwa tidak akan kekal dalam neraka kecuali orang-orang kafir, sementara ahli maksiat, tidak.
Ilmu, yakni mengetahui bahwa Allah 'Azza wa Jalla adalah yang berhak diibadahi. Sedangkan makna Laa Ilaaha Illallaah adalah tidak ada yang diibadahi dengan hak kecuali Allah. Yakin, ia mengucapkannya dengan penuh keyakinan tanpa ragu-ragu. Ia mentauhidkan Allah dengan keyakinan. Ikhlas, yakni ia tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya, tapi ia ikhlaskan ibadah kepada Allah dengan kejujuran. Ini berbeda dengan orang-orang munafikin, mereka mengatakannya dengan dusta. Orang-orang munafik adalah kafir apabila dia mengucapkannya secara dzahir padahal ia berdusta dalam batinnya, orang ini telah kafir.
Dengan penuh cinta, adalah mencinai Allah dan mencintai untuk mentauhidkannya. Orang yang kafir tidak akan mencintai Allah, membenci tauhid, atau membenci iman.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9)
Begitu juga qabul, ia menerima dien (agama), menerima kebenaran, dan mengikutinya. Adapun jika ia menolak kebenaran, tidak menerimanya, dan tidak tunduk kepada kebenaran, bahkan ia tidak menerima untuk mentauhidkan Allah dan tidak meninggalkan kesyirikan, maka ia menjadi kafir. Dan harus mengingkari setiap yang diibadahi selain Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ
Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah: 256) Yakni kufur terhadap peribadatan kepada selain Allah, yakni mengingkarinya. Meyakini kebatilan ibadah kepada selain Allah, mengingkarinya dan berlepas diri darinya. Inilah makna perkataan sya’ir: “Dan ditambahkan kedelapannya kufurmu terhadap segala sesuatu selain Allah yang dijadikan tuhan.” Maksudnya: seorang mukmin mngetahui kebenaran, meyakininya, dan membenarkannya. Ia berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, serta mengikuti kebenaran dan mantap dengannya, mencintai Allah dan Rasul-Nya. Seperti inilah seorang mukmin, walaupun ia tidak mengetahui syarat-syarat kalimat tauhid. Kapan ia menerima kebenaran dan tunduk untuk mentauhidkan Allah, mengikhlaskan ibadah kepada Allah, mencintai Allah dan tunduk kepada syariat-Nya dan tidak berdusta seperti orang-orang munafikin, maka imannya shahih. Walllahu Ta’ala a’lam. 
Ditarjamahkan oleh Badrul Tamam dari www.binbaz.org.sa

Label